Selasa, 06 Agustus 2013

Thomas dan Viola : Melepaskan


Malam itu kau menemuiku terisak. Dengan tubuh basah kuyup kau berdiri di depan rumahku. Ku letakan gitar yang sejak tadi ku mainkan.

"La..." Gumamku melihatmu yang cukup memprihatinkan.

Ya tuhan, ada apa dengan Violaku? Mengapa lagi-lagi ia menangis? Aku bukan benci melihatnya seperti ini. Hanya saja bahkan air matanya membuatku lebih terluka karenanya.

Kau berdiri tepat di hadapanku. Menatapku dengan tangis tak bersuara, hanya kristal air mata itu yang ku lihat jatuh membasahi pipimu. Membasahi wajahmu yang pucat, lalu menyentuh ujung bibirmu yang mulai membiru. Rasanya aku ingin memelukmu, namun kau tahu aku tak dapat melakukannya La...

"Ada apa? Bukankah seharusnya hari ini kau bersenang-senang bersama kawan-kawanmu?!" Aku berusaha bertanya, meski rasa sakit saat melihatmu kini ku tahan di kerongkongan.

Kau mengangguk, berusaha tersenyum meski pada akhirnya hanya menjadi senyum yang menyakitkan.

"Lantas? Mengapa kau menangis?"

Kau kembali tertunduk. Menyembunyikan ketika butiran air mata itu kembali jatuh dari sepasang matamu.

"Thom..." Suaramu terdengar bergetar.

"Eum?!"

"Bukankah aku pernah bilang padamu bahwa hakikat cinta itu melepaskan?!" Ujarmu, entah sudah berapa banyak air mata itu jatuh tak tertahan.




Aku menerawang, mengingat percakapan kita beberapa waktu lalu. Saat kau mengatakan kalimat itu.. "Kau tau Thom?! Dari penulis yang ku suka aku mendapatkan kata-kata ini." Kau melirikku dengan senyum.




"Hakikat cinta itu melepaskan, maka lepaskan dia jauh-jauh dan skenario menakjubkan akan terjadi." Kau mengatakannya dengan yakin saat itu, tapi melihatmu saat ini aku tahu sulit menerapkannya dalam kehidupan nyata kan?

"Aku berusaha melakukannya, berusaha melepaskannya. Melakukan apa yang aku yakini." Ucapanmu tertahan oleh isakmu, aku menahan hati untuk tidak memelukmu. Dan itu menyakitkan La. Pada akhirnya aku hanya dapat mengepalkan tanganku menahan diri.

"Tapi mengapa sesakit ini? Mengapa sulit melakukannya? Mengapa mencintai jika harus melepaskan?!" Tangismu semakin deras, tubuhmu gemetar hebat, menahan perasaan sakit itu. Aku tahu, sebab aku mengerti, karena aku merasakannya. Kau meraih lengan bajuku, mencengkramnya erat hingga dapat ku rasakan rasa sakitnya.

"Melihatnya bersama wanita lain begitu menyesakan bagiku, jika boleh mungkin aku sudah menangis sejak tadi. Tapi aku terus menyakinkan hatiku..."

Kau menghentikan kalimatmu sejenak, kembali mencengkram lengan bajuku lebih kencang.

"Hakikat cinta itu melepaskan Viola.. melepaskan. Kau tak akan memilikinya jika terlalu menginginkannya, sesuatu yang berlebihan itu jelas tak baik. Begitupun dengan terlalu menyukainya." Tuturmu tertunduk.

Aku tahu kau berusaha menguatkan hatimu, persis seperti yang ku lakukan saat ini.

"Meski aku sadar, tak menyukainya sedalam ini pun aku tak dapat memilikinya. Sebab aku tahu ia tak menyukaiku, ia hanya menganggapku teman, hanya itu.. tak lebih." Kini kau membentengi dirimu dengan mencoba 'Tahu diri', lagi-lagi seperti apa yang kulakukan. Jujur La, saat ini aku merasa seperti sedang berkaca melihatmu.

Kau semakin menenggelamkan wajahmu, menangis melepaskan rasa sakit yang mungkin kau tahan sejak tadi.

"Lalu aku harus bagaimana? Membawa perasaan ini kemana Kak? Kemana Kak Tom!?"

Itu kalimat terakhirmu malam itu La, kau terus menangis pedih setelahnya. Sementara aku terdiam tak mampu menjawab, karena setelah itu pertanyaan yang sama pun muncul di benakku.

"Apa aku harus tetap melepasmu? Jika nyatanya kau begitu terluka oleh laki-laki yang kau cintai itu?"

Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu La, juga tak menemukan jawaban atas pertanyaanku. Bisakah kita menyerahkanya pada sang Maha pemilik hati, bersabar sampai Ia memberikan jawaban terbaik-Nya. Menahan rasa sakit ini sampai suatu saat sang Maha pemilik hati menggantinya dengan sepotong hati yang tepat, dan saat itulah kita menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang terlontar saat ini. Jawaban yang sebaik-baiknya, itu yang saat ini harus lebih kita yakini La. Bersabar, melepaskan...

Dan air mataku pun jatuh tak tertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar