Sabtu, 10 Agustus 2013

Terlambat menyadari...


Sepasang mata gadis itu terkesiap melihat teman-teman wanita sekelasnya menyerbu keluar kelas memastikan kabar yang tiba-tiba datang membuat heboh itu.

"Ada anak baru yang keren banget!" Kata Nitya saat ditanya salah satu teman laki-lakinya di kelas itu, kemudian berlari pergi menyisakan satu-satunya gadis yang tak tertarik dengan berita menghebohkan seisi sekolah SMA Padjajaran. Sepasang mata gadis yang terkesiap kaget tadi adalah milik Debby, cewek imut kelas 2 IPS 3 yang kini asik terkikik melanjutkan bacaanya. Disaat para teman wanitanya yang lain heboh dengan kedatangan siswa baru, cewek mungil ini malah sibuk melanjutkan membaca komik favoritnya sambil sesekali tertawa.

"Deb, lo ga ikut ngeliat anak baru itu?" Tanya Fran teman sekelasnya yang mendengar tawa Debby di kelas yang mulai kosong.

Debby menyingkirkan komiknya sesaat menatap Fran.

"Hah?"

Fran menatap jengkel, ini memang sudah jadi kebiasan Debby jika sedang serius dengan sesuatu membuat orang lain harus bertanya lebih dari sekali padanya.

"Gue tanya, lo ga ikut yang lain ngeliat anak baru yang katanya cakep itu?"

Debby mengalihkan pandangannya ke jendela menatap keluar kelas mengikuti arah pandangan Fran.

"Buat apa?" Debby malah balik bertanya.

"Ya mana gue tau, nah itu cewek-cewek kenapa pada nafsu gitu?" Tanya Fran lagi.

"Ya mana gue tau juga, lo tanya aja ke mereka." Jawab Debby ketus merasa terganggu karena keasikannya diusik.

"Ishhh dasar... Klo kaya gitu terus gak bakalan dapet pacar lo!" Celetuk Fran.

Debby tak berpaling, hanya mengangkat bahu tak perduli. Cewek manis nan imut ini memang sangat cuek jika menyangkut perihal hubungan terhadap lawan jenis.

"Hah rese! Gue jadi ilang selera ngelanjutin baca gara-gara lo Fran!!!" Debby mengletakan komiknya kasar di atas meja. Meraih tas ranselnya dan berlalu pergi.

" Mau kemana lo? Abis ini kan ada jam pelajaran." Teriak Fran masih dapat dijangkau telinga Debby.

"Latihan badminton." Jawabnya dingin.

Sepeninggalnya Debby kerumunan wanita itu perlahan mendekat dan mulai memasuki kelas 2 IPS 3. Fran yang sedang asik main game di ponselnya semakin menatap heran.

"Ngapain sih mereka?" Tatap Fran heran melirik Simon yang hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan bacaannya.

Fran masih menelisik mengapa para wanita itu berkerubun. Pagi itu masih jam pelajaran kosong, dan tak ada guru yang mengawasi, membuat wanita-wanita dari kelas lain pun ikut mengerumuni seseorang yang....

"Ah... rupanya anak baru yang diomongin itu." Gumam Fran lalu tak perduli.

Sepertinya anak baru itu kebingungan mencari tempat duduknya. Karena rata-rata penghuni kelas sedang tak ada di kelas. Disamping wanita-wanita yang mengerumuninya yang pasti. Akhirnya cowok itu memutuskan duduk di bangku dekat jendela yang tak di tinggali tas, itu berarti tak ada pemiliknya, begitu fikirnya.

Sementara wanita-wanita itu sibuk menanyakan nama, meminta nomer telfon atau mencari perhatiannya, cowok itu malah sibuk dengan ipod yang sedang ia dengarkan, sama sekali tak terusik dengan cewek-cewek centil disekitarnya itu.

Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Membuat para cewek-cewek itu dengan berat hati membubarkan diri dari kelas 2 IPS 3. Debby yang baru kembali dari latihan paginya heran memperhatikan cewek-cewek itu keluar dari kelasnya.

"Kenapa sih mereka?" Tanya Debby langsung menuju kursi Fran dan duduk di sebelahnya.

Fran menatap Debby dengan sebelah alis terangkat, kemudian melemparkan arah pandangannya menuju tempat duduk Debby yang sudah ditempati seseorang. Debby sontak berdiri dan melangkah cepat menuju kursinya.

"Maaf ya mas, tapi ini tempat duduk saya." Ujar Debby menahan sabar.

Cowok itu menatap Debby sesaat, lalu kembali tak mengheraukannya.

Kedua tangan Debby sudah mengepal menahan amarah, ia merarik earphone yang tersumbat di telinga cowok itu kasar.

"Gue bilang itu kursi gue woy..." Teriak Debby di telinga cowok itu.

Cowok itu kembali menatap Debby, kali ini dengan tatapan tajam, namun Debby tak perduli karena ia merasa itu miliknya.

"Nama gue Rijal bukan Woy! Dan untung aja lo mungil jadi gue gak tega mau nindes lo. Lain kali ngomong gak usah pake teriak-teriak ya Ngil..." Tutur Rijal mengelus kepala Debby seraya meraih tasnya dan mencari bangku kosong lain.

Debby hendak melawan perkataan Rijal yang terdengar sedang mengejeknya, namun melihat wali kelasnya datang ia urungkan niat itu. Pada akhirnya ia hanya menatap Rijal dengan tatapan maut.

***

"Sialan banget kan tuh cowok Greys!!!" Cerita Debby pada Greysia sahabatnya yang tak sekelas namun satu klub bulutangkis.

"Sabar-sabar Deb... kadang cowok cakep emang belagu." Ucap Greys menenangkan sambil mengelus-elus punggung Debby.

Debby meremas bungkus roti yang ada di tangannya, menyiratkan aura penuh kebencian pada cowok baru yang bernama Rizal itu. Namun meski sedang kesal dan marah sekalipun wajah imutnya malah makin menggemaskan.

"Bukan cuma belagu, dia juga kurang ajar!!!. Masa kepala gue dusap-usap kaya gitu. Dikira gue kucing kali...!!!" Gerutunya tak habis.

Greys berhenti berkomentar, seperti perkataan apapun tak dapat meredam amarah Debby. Akhirnya Greysia hanya mendengarkan. Roti yang diremas Debby sejak tadi kini ia cabik-cabik tak beradab dan masuk kedalam mulutnya. Kasian sekali nasib roti itu hari ini di tangan Debby.

"Woy mungillllll lo juga di klub ini rupanya?" Lambai Rijal yang baru memasuki aula klub.

Debby tersedak roti yang sedang dikunyahnya, dengan sigap Greys memberikan sebotolair mineral miliknya pada Debby yang langsung Debby tegak hampir separuh dari isinya. Debby berdiri memberikan botol air minum itu pada Greys lalu menghampiri Rizal yang masih memasang wajah tak berdosa.

"Lo tuh ya! Gue punya nama dan nama gue bukan 'mungil'...!!!" Protes Debby.

Rijal tertawa melihat ekspresi wajah Debby yang menurutnya lucu.

"Gue tau Ngil... Nama lo Debby Susanto kan? Tapi anggep aja Mungil itu panggilan sayang gue buat lo!" Rijal nyengir kuda.

Debby makin naik darah.

"Jangan sok akrab deh lo! Pake ngasih gue panggilan sayang segala. Emang lo pikir lo siapa hah? Dasar cowok aneh!"

"Lo tambah manis deh kalo lagi marah." Goda Rijal mencubit pipi tembam Debby, Debby menepis tangan Rijal dari pipinya.

Mereka tak sadar sudah jadi pusat perhatian, sampai para 'fans' Rijal melongo Rijal bisa menggombal seperti itu pada Debby. Padahal pada cewek yang lain dia cuek abis, bahkan menganggap mereka tak ada.

"Lo gak salah ikut klub bulutangkis Ngil? Nanti orang salah ngira lo shuttlecock-nya lagi..." Ucap Rijal melihat-lihat aula klub bulutangkis, tak acuh dengan segara perkataan keji yang Debby tujukan padanya.

Debby meremas tangannya gemas. Baru kali ini ada orang yang benar-benar bikin Debby naik darah, karena biasanya Debby tipe orang yang santai-santai aja, dan gak ada pernah menganggapnya mungil seperti yang Rijal katakan. Tapi di mata Rijal yang tubuhnya tinggi kekar, Debby memang tergolong mungil baginya, dan reaksi yang Debby tunjukan membuat Rijal tak jengah untuk terus menggoda gadis putih bermata sipit itu.

Debby menghela nafas, enggan untuk menanggapi semua gurauan yang Rijal tujukan padanya. Sementara para cewek-cewek yang kini berjibun di depan pintu aula untuk melihat Rijal menatapnya dengan sejuta pandangan iri pada Debby yang merupakan satu-satunya gadis yang diajak bicara oleh Rijal. Sedangkan Debby? Sama sekali tak perduli dengan tatapan itu. Ia langsung memasang posisi untuk memulai latihannya.

"Kak ketuaaaaa!!!" Panggil Rijal mengangkat tangan.

"Ya anak baru, ada apa?" Tanya ketua klub menoleh, di ikuti dengan semua tatapan mata yang ada di sana.

"Saya mau partner-an sama Debby Kak!" Pinta Rijal, lagi-lagi dengan senyum tengilnya.

Debby mengeram, memberi tanda silang dengan kedua tangannya. Memohon pada Kak ketua klub agar tak menyetujui permintaan Rijal. Namun malang tak dapat ditampik, ini memang bukan hari keberuntungan buat Debby sepertinya. Kak ketua mengangguk dan mempersilakan Rijal berpasangan dengan Debby di lapangan, membuat Debby tertunduk lemas.

"Ayo Mungil kita main! Tenang gue gak akan salah tepok, penglihatan gue bagus kok, gak akan salah liat antara lo sama shuttlecock. Jadi lo gak akan kena smash dari gue Ngil..." Rijal mengerlingkan mata.

"Siallllllllll...." Geram Debby dalam hati.

***

Sesi latihan pulang sekolah berakhir. Cewek-cewek yang sejak tadi mengikuti Rijal pun sudah membubarkan diri, mungkin mereka capek melihat kedekan Rijal dan Debby, meski itu hanya kedekan yang sebelah pihak, dan pihak Debby yang dirugikan.

"Ngapain lo ngikutin gue?!?" Tatap Debby galak ke arah Rijal yang sejak tadi berjalan di belakangnya.

Rijal menggeleng kepala sambil tertawa.

"Ternyata lo ge-er juga ya Ngil. Rumah gue juga ke arah sini tau.""Ya..., ya udah silakan lo duluan." Debby salting karena sudah salah sangka.

"Udah lo jalan duluan aja, gue sekalian jagain lo. Sore-sore gini bahaya cewek pulang sendirian." Ujar Rijal tetap berada satu meter di belakang Debby.

Debby tak bisa menyela, karena memang nyatanya seperti itu. Daerah yang dilewati Debby pulang kalau sore memang agak berbahaya, minggu lalu ia nyaris dijegat pria-pria nakal pemabuk yang menggodanya. Untung lari Debby cepat, jadi ia bisa meloloskan diri. Setelah itu keduanya hanya diam, Debby sampai di rumahnya tetap bersama Rjzal yang setelah Debby masuk rumah melanjutkan langkahnya pulang. Saat itu Debby sebenarnya menyadari ada sesuatu di hatinya, namun ia abaikan dan menganggapnya tak ada.

***

Esoknya seperti yang sudah di duga. Kelas 2 IPS 3 sudah ramai seperti pasar di tikungan tak jauh dari sekolah. Ramai oleh kaum wanita yang tak jera mengajak Rijal bicara. Seperti halnya kemarin dan hari-hari yang akan datang. Hanya Debby teman wanita yang Rijal ajak bicara dan bercanda. Selebihnya ia akan diam dan menganggap yang lain tak ada, entah mengapa. Hanya saat bersama Debby Rijal bersikap seperti siswa lain pada umumnya.

 Debby menatap Rijal heran yanng kini duduk di samping kursi miliknya, semetara Rijal sudah menyambutnya dengan senyum termanis yang Rijal miliki.

"Elo, kok duduk di sini?"

"Gue tukeran tempat duduk sama Ryan. Ya kan Yan?" Rijal menoleh pada Ryan yang melambai menanggapi tatapan itu, namun melihat tatapan tajam Debby padanya, Ryan menurunkan tangannya dan mengenggaruk tekuknya yang tak gatal. Debby menghampiri Ryan yang terlihat salah tingkah.

"Lo gak mau lagi duduk sama gue?" Cecar Debby.

"Bukan Deb, bukan gitu... Gue sih masih enjoy duduk sama lo tapi Rijal kasian, katanya matanya gak bisa lihat jelas ke papan tullis kalo duduk di belakang. Dia sampai mohon-mohon gitu ke gue, makannya... hehe, gak apa-apa ya?"

"APA? Dia ngomong gitu ke elo?!? Denger ya Yan! Kemaren tuh dia baru bilang ke gue kalo...""Hushttttt... udah-udah gak usah ribut gitu, ayo duduk Deb. Pak guru udah masuk tuh!" Rijal menarik tangan Debby dan memaksanya duduk ke tempatnya semula.

Debby mengelus dada, melihat pria uang kini di sampingnya itu tak habis fikir, kemudian teringat kata-kata Rizal kemarin yang membuatnya kesal tak kepalang.

"Ayo Mungil kita main! Tenang gue gak akan salah tepok, penglihatan gue bagus kok, gak akan salah liat antara lo sama shuttlecock. Jadi lo gak akan kena smash dari gue Ngil..."

Sepasang mata Debby masih mengawasi pria yang kini duduk disebelahnya, menatap penuh dendam.

"Ryan dodolllllll, mau aja dibohongin sama tampang sok polos nih orang!!!" Umpat Debby dalam hati.

Debby mengobarak-abrik tasnya mencari buku PR yang di minta Miss Susi baru saja di depan kelas. Celakanya, Debby tak menemukan buku PR yang ia yakini sudah ia masukan ke dalam tasnya itu.

"Mati gue!!!" Gumam Debby.

"Kenapa Ngil?"

Untuk kali ini Debby tak perotes dengan panggilan Rijal yang tetap memanggilnya dengan panggilan 'sayang' meurut versinya. Keadaannya lebih gawat dibandingkan hanya diejek Rijal. Miss Susi ini terkenal kiler, jika ia tahu Debby tak membawa PR-nya maka tamatlah sudah Debby. Bukan hanya di uris kelas, tapi di jemur di depan lapangan dengan tulisan bodoh yang akan menjadi bahan tertawaan sampai bel pulang sekolah berbunyi. Debby menelan ludah, memikirkannya saja sudah membuatnya merinding panas dingin.

"Gue gak bawa buku PR gue..." Lirih Debby tertunduk.

"Hah? Gawat kalo gitu. Gue denger dari anak-anak katanya Miss Susi sadis abis kaya lagunya Afgan, makannya mereka kemaren meringatin gue buat ngerjain PR-nya bener-bener."

Mendengar ucapan Rijal Debby makin tertunduk lesu. Debby bersiap berdiri mengakui kesalahannya. Namun Rijal menahan tangan Debby menjaganya tetap duduk dan menyerahkan buku PR miliknya.

"Kebetulan tuh buku belum gue kasih nama." Ucap Rijal dengan senyum khas-nya, namun Debby masih belum mengerti.

Rijal berdiri, mengatakan pada Miss Susi kalau dia lupa mengerjakan PR kemarin. Sontak seisi kelas hening memandang ke satu arah yaitu Rizal.

"Hehe, biasa bu... saya super sibuk jadi lupa ngerjain PR." Gurau Rijal membuat seisi kelas menyorakinya. Sementara yang dimaksud hanya nyengir kuda dengan tampang tak berdosa. Debby? Jangan ditanya, dia mematung menatapi Rijal sejak tadi.

Miss Susi tanpa ampun dan tak menghiaraukan meski Rijal anak baru langsung menghukumnya seperti sebagaimana ia menghukum anak lain. Ekspresi wajah Rijal tak berubah, seolah dengan senang hati menerima hukuman itu. Rijal pun diusir dari kelas menyisakan Debby yang masih memandangi buku PR Rijal yang tergeletak di hadapannya. Hatinya kembali merasakan sesuatu.

***

Sepulang sekolah Debby membawa tas Rijal dan menghampirinya di lapangan. Rijal sudah berdiri sejak jam pertama pelajaran tadi pagi. Dan Miss Susi hanya memberikan jeda hukumannya pada jam istirahat. Setelah itu Rijal harus menjalani hukumannya lagi. Tentu saja peristiwa dihukumnya Rijal menarik banyak perhatian orang. Pertama, karena Rijal anak baru. Kedua, karena Rijal sudah menjadi bintang sekolah bagi para wanita sejak pertama kali kemunculannya. Ketiga, entah mengapa sikapnya yang menerima hukuman tanpa merasa malu malah membuatnya terlihat makin keren di mata sebagian besar wanita-wanita seisi SMA Padjajaran.

"Jal..." Panggil Debby lesu.

Rijal menoleh, tersenyum meski raut wajahnya terlihat lelah. Peluhnya jatuh bergantian, mengisyaratkan betapa teriknya matahari siang itu. Debby mengulurkan sebotol air mineral pada Rijal, yang masih dipandangi Rijal enggan.

"Miss Susi bilang lo udah boleh pulang kok." Tambah Debby. Debby tahu Rijal takut menerima minuman itu jika ia masih dalam masa hukumannya, dan itu terlihat dari ekspresi wajah Rijal, maka dar itu Debby menjelaskan.

"Makasih." Rijal menjatuhkan diri terduduk dan menenggak air mineral itu sampai habis.

Debby ikut duduk di samping Rijal, sambil mengamati wajah lelah cowok itu dengan penuh rasa bersalah.

"Gue minta maaf karena gue lo jadi begini. Seharusnya gue yang terima hukuman ini, seharusya gue yang nanggung malu. Tadi setelah lo keluar kelas sebenernya gue mau ngaku sama Miss Susi, tapi kalo tau yang sebenernya gue rasa Miss Susi bakalan tambah marah dan malah bikin hukuman yang lebih berat dari ini buat kita berdua, maka dari itu gue diem. Maafin gue Jal..." Tutur Debby tertunduk.

"Bukan 'maaf' tapi harusnya yang lo ucapin ke gue itu 'makasih' kan? Hehe.." Rijal menatap Debby dengan pandngan lembut itu, pandangan yang selalu Debby hindari. Melihat Debby yang juga masih serius menatapnya Rijal malah mengacak-acak rambut Debby dengan tangan besarnya, meraih tasnya dan berdiri.

"Pulang yuk! Udah sore." Ajak Rijal mengulurkan tangan.

Debby mengangguk, ragu iya meraih uluran tangan itu.

***

Kebaikan RiJal semakin nyata di hidup Debby, membuat keduanya semakin dekat. Debby pun sudah tak risih lagi dengan panggilan 'kesayangan' Rijal yang awalnya membuat panas telinganya. Kedekatan Debby dan Rijal membuat semua orang yang melihatnya salah paham dengan hubungan yang dirajut oleh keduanya. Mereka hanya tertawa saat salah satu temannya bertanya apakah keduanya pacaran?!. Rijal dengan gaya khasnya menjawab dengan senyum misterius.

"Iya, kita emang pacaran, hehe..."

Dan ketika pulang sekolah, saat Debby bertanya mengapa Rijal mengatakan hal itu, Rijal hanya menjawab enteng.

"Gak apa-apalah... kan lucu kalo mereka anggep kita pacaran." Jawab Rijal sambil tertawa.


"Lo tau gak Deb? Lo tuh mirip banget sama ade gue yang udah gak ada. Makannya gue bisa deket sama lo, gak masalahlah mereka nganggep kita apa." Tambah Rijal tersenyum.

Deg! Seperti dihantam sesuatu yang besar telak di hatinya Debby merasa sakit mendengar pernyataan Rijal. Senyum janggalnya mengiringi langkah mereka diperjalanan pulang, meski Debby tak terang-terangan menunjukannya, ia masih berusaha tersenyum, dibalik hatinya yang tak kuasa menahan tangis. Tuhan, perasaan apa ini?!?

Debby menutup pintu kamarnya, terduduk lemas memeluk kedua lututnya.

"Disaat aku menyadari itu cinta, saat itu juga aku patah hati. Dan aku telah terlanjur jatuh, meski menyadari aku berusaha mengelaknya, kebaikanmu abu-abu. Samar tak terbaca, kau tak pernah menegaskan hitam tetaplah hitam, atau menjernihkan putih adalah putih. Itu yang membuatku ragu... Maka pergilah, biarkan aku tetap menjadi aku sebagaimana mestinya..." Hari itu Debby menangis tak henti, ia jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaan.

***

Seminggu berlalu semenjak kejadian itu, Debby sudah tak masuk sejak seminggu yang lalu. Tak ada kabar yang Rijal terima, hanya keterangan guru yang mengatakan bahwa orang tua Debby meminta izin untuk tidak masuk sekolah. Bekali-kali Rijal berusaha menghubungi ponsel Debby, namun tak pernah sekali pun Debby menerima, sampai di hari kesembilan semenjak Debby tak masuk sekolah ia muncul di depan kelas, meruntuhkan segunung kecemasan di hati Rijal. Rijal menatap Debby lembut, tak menyadari bahwa gadis itu datang hanya untuk menyampaikan salam perpisahan.

"Gue dateng hari ini karena mau bilang makasih pada kalian. Makasih udah jadi temen sekelas gue yang baik, makasih udah nerima gue hadir diantara kalian. Makasih untuk semuanya, mulai hari ini gue resmi keluar dari sekolah ini. Bokap gue dimutasi ke kalimantan, dan gue harus pergi sama mereka, seminggu lebih kemarin pas gue gak masuk itu karena gue harus ngurusin ke pindahan ke sana. Gak ada yang nanya juga ya! hehe..." Debby menahan air mata menatap teman-temannya. Menghindari pandangan Rijal yang sejak tadi menghujaninya tak henti. Pandangan penuh tanda tanya, pandangan tak mengerti.

Debby menunduk dalam, salam perpisahan terakhir dari Debby, setelah itu ia beranjak pergi dan meninggalkan kelas itu. Kelas yang memberinya banyak kenangan, kelas yang kemudian hening sepeninggal Debby dari tempat itu. Rijal mengejar langkah Debby dan menahannya dalam genggaman tangannya.

"Kenapa?!" Tanya Rijal tak habis fikir.

Debby hanya diam tak kunjung membalas tatapan Rizal ataupun menjawab pertanyaan cowok itu.

"Tanpa kabar tiba-tiba lo... mau pergi ninggalin gue Deb?!"

Tak ada jawaban dari Debby, hanya bulir air mata yang menjawab semua pertanyaan Rijal. Dan itu bukan hal yang mudah untuk dapat benar-benar mengartikannya. Debby masih diam, mengeluarkan sehelai sapu tangan dari kantongnya, menyerahkan sapu tangan itu pada Rijal dan melepaskan tangan Rijal berlalu pergi tanpa dapat Rijal tahan lagi.

Sapu tangan itu terlepas dari tangan Rijal seiring perginya Debby. Dan terjawab sudah arti air mata Debby tadi, namun itu embuat Rijal malah semakin menangis menjadi. Sebab ia terlambat menyadari, bahwa hati kecilnya sudah mencintai gadis itu, gadis yang mulanya hanya ia anggap seperti adiknya yang telah pergi, dan ia juga terlambat menyadari, bahwa gadis itu juga menaruh hati padanya.

"Dan aku terlambat menyadari... bahwa senyum yang kau ukir itu tertuju untukku, dan pudar karenaku. Dan aku terlambat menyadari... bahwa cemas yang ku rasakan untukmu, juga kau rasakan untukku. Dan aku terlambat menyadari... bahwa hati itu jatuh karenaku, dan hancur karenaku juga... Aku terlambat menyadari semuanya..."

Di sisi sapu tangan itu sersulam sebuah kalimat yang menjelaskan semuanya... "I Love You"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar