***
Hari itu adalah hari pertamaku masuk SMA. Sudah kupersiapkan segala keperluan MOS-ku dengan teliti, agar tak ada yang terlupa dan memberikan peluang kakak-kakak osis untuk menjadikanku bulan-bulanan hukuman mereka.Sebisa mungkin aku menghindari hal-hal yang dapat menarik perhatian, aku tak suka tampil menyolok, dan aku memang lebih suka menjadi siswi yang 'biasa-biasa' saja.
Matahari
mulai menunjukan teriknya. Keringat mulai menyeruap keluar melalui pori-pori
tubuhku. Dan kuharap, upacara ini cepat selesai.
"Nih."
Seseorang
menyodorkan selembar tissu di hadapanku. Aku tak langsung mengambilnya, dan malah
menatap orang itu.
"Keringatnya..."
Ucapnya lagi, kini disertai senyum.
Ragu,
ku ambil tissu dari tangannya.
"Terima
kasih."Kataku membalas senyumannya. Dan dia kembali tersenyum, senyum yang
bersahabat.
Setelah
kejadian itu, aku sesekali meliriknya. Ku lihat name tag yang tertempel di dadanya. Aku mengangguk disertai senyum.
"Oh...
namanya Wildan."Gumamku.
***
"Dan!!!"
Panggilku menghampirinya. Idan -panggilan kesayangnku untuknya- menoleh dan tersenyum menyambut kedatanganku.
Sejak
kejadian mos waktu itu, aku dan Idan jadi dekat, dan beruntungnya ternyata
kami satu kelas.Itu yang membuatku tak bisa jauh darinya, kini dia adalah
sahabat terdekatku, baik diluar sekolah mau pun di kelas.
"Ke
kantin yuk!" Ajakku meraih tangannya.
"Tapi gue
mau ke perpus La.."
"Sebentar
aja kok, nanti dari kantin kita ke perpus deh!" Bujukku tak henti.
Idan
tampak berfikir sejenak, tak lama mengangguk menyetujui permintaanku. Aku
tersenyum sumringah.
"Ya elah
La, tadi gue ajakin loe ke kantin gak mau..taunya malah ke kantin sama Wildan,
gandengan tangan segala lagi. Tau deh yang mau pacaran..." Keluh Luna,
teman sekelasku yang juga lumayan dekat denganku.
Aku
terkekeh mendengar ucapan Luna itu.
"Haha,
pacaran dari mana? Gue sama Idan gak pacaran kali… iya kan Dan?!?" Aku
melirik Idan masih menahan tawa.
Idan
tak segera menjawabku, ia malah diam menatapku. Tatapan yang tak dapat ku artikan. Sesaat
kami bertiga terdiam. Kulihat Luna melirikku memberikan isyarat yang tak
kumengerti maksudnya. Tapi tak lama kulihat senyum merekah di wajah Idan.
"Iya, gue
sama Lala cuma temen kok Lun..." Ujarnya menatapku lalu beralih memandang
Luna.
Lagi-lagi
hening.
"Ha..ha.. tuh
kan Lun.." Aku mencoba mencairkan suasana.
"Ya udah deh,
gue ke kelas duluan." Pamit Luna lalu pergi.
Aku
melirik Idan yang tersenyum mengantar kepergian Luna dari hadapan kami.
"Luna itu
ada-ada aja ya... Masa nganggep kita pacaran, ckck."Aku masih memandang Idan
yang kini sudah menatapku.
Lagi-lagi Idan hanya tersenyum, berjalan melewati para siswa yang baru saja keluar dari
antrian stand makanan. Aku masih
memandang Idan yang mulai berbaur dengan para siswa lain untuk mendapatkan
makan siang kami. Dan tak lama dia sudah kembali membawa makanan untuk kami
makan berdua.
"Yah... gak
mungkin kan?" Tanyanya.
"Hah?"
"Kita
pacaran." Tambahnya menjawab pertanyaanku.
Aku
kembali tertawa.
"Ya gak
mungkinlah... Gue tuh ya, sukanya sama... eum..." Mataku melirik sekitar.
"Ah, itu
dia! Cowok yang gue suka!!!" Tunjukku pada salah seorang siswa yang sedang duduk
menyantap makan siangnya.
Idan
menaikan sebelah alisnya, tanda ia terkejut dengan pernyataanku. Aku meliriknya
dan hanya menyukir senyum lalu berjalan mendahuluinya.
"Sejak
kapan?"
Ia
mempercepat langkahnya agar dapat berjalan di sampingku, masih menatap penuh
tanya.
"Sejak
tadi..hehe"
"La..."
Geram Idan, memberikan tatapan seolah mengatakan "Jangan
bercanda!!!" padaku.
"Hehe
maaf..."
"Bercanda
seperti itu sama sekali gak lucu. Hati-hati nanti lo beneran suka sama dia
lagi."Ujar Idan membuatku bergidik.
"Ah jangan
gitu dong Dan...Gak mau ah, dia kan playboy!!" Aku mengejar langkah Idan
yang kini berbalik meninggalkanku.
***
Sialnya, entah karena kata-kata Idan itu kutukan atau apa. Pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu. Awalnya aku hanya merasa dia laki-laki playboy sebagaimana kebanyakan, namun semakin hari aku semakin tahu kalau sebenarnya dia hanya selayaknya ulat bulu yang dijauhi kebanyakan orang. Predikat playboy yang melekat pada dirinya justru bukan membuatnya 'hebat' di mata teman-teman terdekatnya. Senyum yang ia berikan pada kebanyakan wanita juga bukan hal yang istimewa seperti yang dikabarkan tentang dirinya. Ada yang lain yang kulihat dari sorot tajam sepasang matanya. Sepasang mata yang kemudian membuatku jatuh cinta, sorot mata yang membuatku tak bisa berhenti mencuri pandang padanya baik di dalam maupun di luar kelas. Dan sayangnya, aku tak bisa seperti teman-teman yang lain. Aku yang selama ini sekelas dengannya hanya sempat mengatakan beberapa kata tanpa berani menatapnya. Ya, aku memang tak begitu pandai bergaul dengan laki-laki kebanyakan, kecuali Idan tentunya. Entah mengapa, bagiku Idan berbeda. Aku bisa menjadi apapun yang aku inginkan jika bersamanya. Bicara tentang Idan, aku sedang mencarinya saat ini. Oh, ayolah Dan... tunjukan dirimu, aku membutuhkanmu saat ini, untuk berkeluh kesah tentang perasaan yang tak dapat lagi kupendam sendiri. Aku tersiksa karenanya, menyukai diam-diam itu sama sekali tak menyenangkan!!!. Mungkin awalnya aku menikmati perasaan itu, memperhatikannya diam-diam saat pelajaran di kelas, atau tersenyum karena tiba-tiba dia balik menatapku yang sedang asik menatapnya. Yahhhh, mungkin dia sadar sedang dipandangi. Tapi hal itu berlangsung hanya sesaat, keasikan yang kupahami semula tak berlangsung lama. Aku merasa bodoh melakukan ini, menyukai diam-diam adalah tindakan paling bodoh yang pernah kulakukan dalam hidupku dan aku mulai lelah dengan semuanya. Maka dari itu, aku membutuhkan Idan saat ini, karena hanya dia yang kupercaya sebagai tempat berbagi perasaan rumit yang baru aku rasakan. Kutelusuri seluruh perpustakan dimana ia biasanya berada. Tapi tak juga ku temui dirinya. Sejak bel istirahat berbunyi beberapa menit yang lalu dia sudah menghilang entah kemana. Ku cari Idan ke tempat lain, bagaimana pun aku harus mengatakannya pada Idan. Setidaknya untuk meringankan apa yang kurasakan.
BUGH!
"Auwwww...."
Ringisku ketika menabrak seseorang saat keluar dari perpustakaan.
"Sorry,
sorry La. Lo gak apa-apa?"
Aku
melirik orang yang baru sajaBmenubrukku, dan leganya ternyata itu Idan. Aku
langsung menarik tangannya untuk ikut bersamaku.
***
"Jadi lo
bener-bener suka samad ia?" Tanya Idan memastikan. Aku mengangguk perlahan.
Aku
masih menunduk. Sementara Idan mungkin sedang memperhatikanku dalam diamnya.
"Hah~ gue
udah duga bakalan jadi seperti ini."
Aku
semakin memperdalam tatapanku, mendekap lutut dalam pelukanku erat, dan
menenggelamkan wajahku diantaranya. Lagi-lagi hening, hanya terdengar semilir yang
perlahan menerpa kami. Dan suara dedaunan pohon yang sedang kami teduhi di
samping gedung utama sekolah tempat kami kini berada. Sekali lagi aku mendengar Idan menarik nafas panjangnya.
"Lantas
sekarang lo mau gimana?"
Tanya Ildan lagi. Aku tetap diam tak menjawab pertanyaan Idan, sebab aku sendiri
tak tau jawabannya. Namun kemudian terlintas dibenakku.
"Setidaknya
gue ingin dia tau perasaan gue." Gumamku pelan, tapi aku yakin Idan masih
dapat mendengarnya.
***
"La!!!"
Sapa Luna membuatku terperanjat. Aku menatap Luna sinis.
"Biasa aja
kali Lun nyapanya..." Protesku kesal.
Luna
tak memperdulikan aksi protesku dan malah sibuk memintaku untuk duduk di kursi
sebelahnya.
"Apaan
sih..." Keluhku risih dengan tingkah Luna yang menarik-narik tanganku agar
lekas duduk.
Aku
pun duduk seperti permintaannya. Luna mendekatkan jarak duduknya denganku, dan membisikan
pertanyaan yang sudah sangat mengganggu pikirannya tampaknya.
"Lo suka
sama Ziyan?" Tanya Luna berbisik.
Sontak
aku langsung mendorong Luna menjauh,dan memandangnya heran.
"Idan
yang bilang sama lo?!?" Emosiku mulai naik.
Kini
giliran Luna yang balik mandangku heran, ia lalu menggeleng pelan.
"Bukan...
orangnya sendiri kok yang bilang ke anak-anak."
Aku
terngaga mendengar pernyataan Luna barusan. Bagaimana mungkin Ziyan yang mengatakannya
sendiri pada anak-anak sekelas?!? Dan bagaimana dia bisa tau?!? Belum selesai
aku berkecamuk dengan perasaanku. Orang yang sedang aku dan Luna bicarakan
datang menghampiri kami.
"Hei... Gue
mau ngomong sama loe bentar." Ujarnya menatapku.
Aku
beralih memandang Luna, dan dia hanyamengangkat bahu menanggapi tatapanku. Mataku
kembali terarah pada Ziyan, laki-laki yang diam-diam kusukai itu. Masih
diselimuti ragu dan kebingungan yang melanda, aku mengangguk dan mengikuti
langkahnya meninggalkan kelas kami. Dapat ku pastikan seluruh mata di kelas memperhatikan
kepergian kami dari kelas, dan aku amat tak menyukai hal ini. Sudah kubilang sebelumnya
bukan?!? Aku tak suka jadi pusat perhatian. Kami tiba di halaman belakang
sekolah, ia menghentikan langkahnya dan menatapku.
"Lo suka
sama gue?" Tanyanya to the point.
Aku
diam.
"Siapa yang
bilang sama lo?" Tanyaku akhirnya setelah mampu bicara.
"Gak
penting siapa yang ngasih tau gue, gue cuma pengen loe jawab.. lo beneran suka
sama gue?" Tanya Ziyan lagi.
Ya
Tuhan... aku sama sekali tidak suka suasana seperti ini. Bisakah aku pergi tanpa
menjawab pertanyaannya?!?
"La!!!"
Panggilnya meminta jawaban. Aku masih diam. Ini pertama kalinya aku dan Ziyan
bicara sepanjang ini. Tapi mengapa kita tak bisa membicarakan hal lain selain
menyangkut perasaan?
"Ya, gue
emang suka sama lo." Ucapku akhirnya tak dapat mengelak.
Ziyan sempat terdiam sesaat,
lalu kembali angkat bicara.
"Terus loe
mau jadi pacar gue?"
Aku
mengernyit.
"Maksud
lo?" Tanyaku balik.
"Ya wajar
kan kalo sama-sama suka terus pacaran?" Jelas Ziyan tanpa basa-basi.
Perasaan
apa ini? Apa memang yang kuinginkanseperti ini? Aku memang menyukainya, ingin
iajuga tau perasaanku, dan tentu saja ingin memiliki sebagaimana layaknya orang
jatuh cinta. Tapi mengapa begini? Rasanya ada yang salah dengan perasaanku! Dan
saat ini hanya Idan yang pasti dapat mengerti perasaanku. Aku ingin Idan
sekarang.
"Maaf
Ziyan, mungkin gue emang suka sama lo, tapi gue gak bisa!!!" Tuturku
langsung meninggalkannya.
Aku berlari kembali ke kelas. Mataku
sibuk mencari seseorang yang saat ini sangat ingin kutemui. Namun ia tak juga
muncul dijarak pandangku. Aku berlari mengitari perpustakaan, ke taman samping
sekolah tempat aku dan dia sering menghabiskan waktu membaca buku bersama. Tapi
tak juga kutemui Idan, entah mengapa rasanya air mata mulai menggenang di pelupuk
mataku, dan rasanya aku benar-benar ingin menangis.
“La, lo
kenapa?” Tanya Luna saat aku kemali ke kelas dan duduk di kursiku. Aku sempat
melihat Ziyan yang memandangku aneh, namun tak kuperdulikan pandangan itu.
“Idan gak
masuk ya Lun?” Tanyaku lirih.
“Loh? Emang lo
gak tau? Wildan kan udah pamitan kemarin. Mulai hari ini dia bukan siswa
sekolah ini lagi.
Hatiku seperti dihujam beribu
jarum. Perasaan sakit ini lebih menyakitkan dibanding saat aku menyimpan
perasaan sukaku pada Ziyan.
“Pin..dah?”
Luna mengangguk, lalu menghela
nafas.
“Udah gue duga
ada yang aneh.” Luna lalu bangkit dan merogoh tasnya mengambil sesuatu, kemudian
kembali duduk di sampingku.
“Pas dia pamitan
kemarin, dia ngomong di depan anak-anak tanpa ada lo. Dan dia nitipin ini ke gue.”
Ucap Luna menyerahkan secarik surat padaku.
Aku mengambilnya ragu, ku buka
surat itu dan membawanya.
Dear Lala…
Loe pasti kaget pas baca surat dari gue… atau engga ya?!?
Hehe.. Gue minta maaf karena gak bisa pamitan langsung sama loe, gue takut
nanti loe nangis lagi. Atau sekarang malah loe lagi nagis baca surat dari gue?
Jangan nangis dong La… ya? Ya?
Seperti sebelum-sebelumnya, gue memang gak pernah bertahan
lama tinggal disuatu tempat. Karena kerjaan bokap gue yang memang nuntut kita
sekeluarga harus pindah ke sana-sini. Dan ini harus terjadi lagi
sekarang…padahal hati gue udah tertambat di kota ini. Tapi ya mau gimana lagi?
Gue gak bisa gak ikut keluarga gue La…
Sebenernya banyak yang mau gue omongin sama loe, tapi karena
takut loe capek bacanya gue cerita sedikit aja deh.
Ziyan tau dari gue La, gue bilang sama dia kalau loe suka
sama dia, dan kayaknya dia juga suka sama loe. Loe bilang kan ke gue…
“Seenggaknya gue pengen dia tau perasaan gue.”Nah sekarang dia udah tau,
tinggal bagaimana kalian menjalaninya.Gue bahagia kalau loe bahagia. Sebab buat
gue loe berharga, karena gue sayang sama loe, bahkan lebih dariyang loe tau.
Meski mungkin selamanya kita cuma bisa jadi temen seperti yang loe
inginkan.Tapi buat gue gak apa-apa, asal loe masih butuhin gue walau hanya
sebagai temen. Dan… gue harap loe ngerti kenapa gue gak bisa bilang sama loe
semuanya secara langsung. Makasih untuk semuanya La,terutama kehadiran loe di
hidup gue…
From: Idan
PS: Awalnya gue gak terlalu suka dengan panggilan lo buat gue, tapi sekarang gue akan kangen panggilan itu :)
Air mataku jatuh tak tertahan.
Kupeluk surat dari Idan erat-erat. Sakit sekali rasanya… Mengapa bisa sesakit
ini?!? Bukan Ziyan yang aku mau, tapi lo Idan… Tapi lo!!!.
Dan setelah sadar pada perasaan
ini, ternyata kesukaanku pada Ziyan hanya rasa antusiasme saja, dan bukan rasa
“suka” seperti yang aku deskripsikan selama ini. Yang aku inginkan, yang ku ingin
terus bersamaku, yang membuatku nyaman, yang membuatku suka, dan membuatku
jatuh cinta ternyata Idan. Karena terlalu ingin dia bersamaku aku jadi takut
mengakui perasaanku, takut ia pergi dariku, meski pada akhirnya dia tetap
pergi… bahkan tanpa tau perasaanku. Ini bukan hanya kisah cinta diam-diamku
pada Ziyan yang ternyata salah, atau juga bukan hanya kisah cinta diam-diam Idan padaku yang baru ia katakan disaat ia sudah pergi. Tapi ini kisah cinta
diam-diamku pada Idan yang baru ku sadari setelah kepergiannya. Dan rasanya, air
mata saja tak cukup menggambarkan betapa sakitnya hatiku saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar