Senin, 05 Agustus 2013

Secret Admirer



Jatuh cinta itu seharusnya menyenangkan, tapi tidak dengan kisah cintaku."Cinta" yang kedengarannya penuh suka cita tak berlaku untukku, terlebih perasaan ini tak dapat kuungkapkan dan hanya kusimpan sendiri.Dan pada kenyatanya, mencintai diam-diam itu sangat menyakitkan.

***
 

Hari itu adalah hari pertamaku masuk SMA. Sudah kupersiapkan segala keperluan MOS-ku dengan teliti, agar tak ada yang terlupa dan memberikan peluang kakak-kakak osis untuk menjadikanku bulan-bulanan hukuman mereka.Sebisa mungkin aku menghindari hal-hal yang dapat menarik perhatian, aku tak suka tampil menyolok, dan aku memang lebih suka menjadi siswi yang 'biasa-biasa' saja.
Matahari mulai menunjukan teriknya. Keringat mulai menyeruap keluar melalui pori-pori tubuhku. Dan kuharap, upacara ini cepat selesai.
"Nih."
Seseorang menyodorkan selembar tissu di hadapanku. Aku tak langsung mengambilnya, dan malah menatap orang itu.
"Keringatnya..." Ucapnya lagi, kini disertai senyum.
Ragu, ku ambil tissu dari tangannya.
"Terima kasih."Kataku membalas senyumannya. Dan dia kembali tersenyum, senyum yang bersahabat.
Setelah kejadian itu, aku sesekali meliriknya. Ku lihat name tag yang tertempel di dadanya. Aku mengangguk disertai senyum.
"Oh... namanya Wildan."Gumamku.

***

"Dan!!!" Panggilku menghampirinya. Idan -panggilan kesayangnku untuknya- menoleh dan tersenyum menyambut kedatanganku.
Sejak kejadian mos waktu itu, aku dan Idan jadi dekat, dan beruntungnya ternyata kami satu kelas.Itu yang membuatku tak bisa jauh darinya, kini dia adalah sahabat terdekatku, baik diluar sekolah mau pun di kelas.
"Ke kantin yuk!" Ajakku meraih tangannya.
"Tapi gue mau ke perpus La.."
"Sebentar aja kok, nanti dari kantin kita ke perpus deh!" Bujukku tak henti.
Idan tampak berfikir sejenak, tak lama mengangguk menyetujui permintaanku. Aku tersenyum sumringah.
"Ya elah La, tadi gue ajakin loe ke kantin gak mau..taunya malah ke kantin sama Wildan, gandengan tangan segala lagi. Tau deh yang mau pacaran..." Keluh Luna, teman sekelasku yang juga lumayan dekat denganku.
Aku terkekeh mendengar ucapan Luna itu.
"Haha, pacaran dari mana? Gue sama Idan gak pacaran kali… iya kan Dan?!?" Aku melirik Idan masih menahan tawa.
Idan tak segera menjawabku, ia malah diam menatapku. Tatapan yang tak dapat ku artikan. Sesaat kami bertiga terdiam. Kulihat Luna melirikku memberikan isyarat yang tak kumengerti maksudnya. Tapi tak lama kulihat senyum merekah di wajah Idan.
"Iya, gue sama Lala cuma temen kok Lun..." Ujarnya menatapku lalu beralih memandang Luna.
Lagi-lagi hening.
"Ha..ha.. tuh kan Lun.." Aku mencoba mencairkan suasana.
"Ya udah deh, gue ke kelas duluan." Pamit Luna lalu pergi.
Aku melirik Idan yang tersenyum mengantar kepergian Luna dari hadapan kami.
"Luna itu ada-ada aja ya... Masa nganggep kita pacaran, ckck."Aku masih memandang Idan yang kini sudah menatapku.
Lagi-lagi Idan hanya tersenyum, berjalan melewati para siswa yang baru saja keluar dari antrian stand makanan. Aku masih memandang Idan yang mulai berbaur dengan para siswa lain untuk mendapatkan makan siang kami. Dan tak lama dia sudah kembali membawa makanan untuk kami makan berdua.
"Yah... gak mungkin kan?" Tanyanya.
"Hah?"
"Kita pacaran." Tambahnya menjawab pertanyaanku.
Aku kembali tertawa.
"Ya gak mungkinlah... Gue tuh ya, sukanya sama... eum..." Mataku melirik sekitar.
"Ah, itu dia! Cowok yang gue suka!!!" Tunjukku pada salah seorang siswa yang sedang duduk menyantap makan siangnya.
Idan menaikan sebelah alisnya, tanda ia terkejut dengan pernyataanku. Aku meliriknya dan hanya menyukir senyum lalu berjalan mendahuluinya.
"Sejak kapan?"
Ia mempercepat langkahnya agar dapat berjalan di sampingku, masih menatap penuh tanya.
"Sejak tadi..hehe"
"La..." Geram Idan, memberikan tatapan seolah mengatakan "Jangan bercanda!!!" padaku.
"Hehe maaf..."
"Bercanda seperti itu sama sekali gak lucu. Hati-hati nanti lo beneran suka sama dia lagi."Ujar Idan membuatku bergidik.
"Ah jangan gitu dong Dan...Gak mau ah, dia kan playboy!!" Aku mengejar langkah Idan yang kini berbalik meninggalkanku.

***

Sialnya, entah karena kata-kata Idan itu kutukan atau apa. Pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu. Awalnya aku hanya merasa dia laki-laki playboy sebagaimana kebanyakan, namun semakin hari aku semakin tahu kalau sebenarnya dia hanya selayaknya ulat bulu yang dijauhi kebanyakan orang. Predikat playboy yang melekat pada dirinya justru bukan membuatnya 'hebat' di mata teman-teman terdekatnya. Senyum yang ia berikan pada kebanyakan wanita juga bukan hal yang istimewa seperti yang dikabarkan tentang dirinya. Ada yang lain yang kulihat dari sorot tajam sepasang matanya. Sepasang mata yang kemudian membuatku jatuh cinta, sorot mata yang membuatku tak bisa berhenti mencuri pandang padanya baik di dalam maupun di luar kelas. Dan sayangnya, aku tak bisa seperti teman-teman yang lain. Aku yang selama ini sekelas dengannya hanya sempat mengatakan beberapa kata tanpa berani menatapnya. Ya, aku memang tak begitu pandai bergaul dengan laki-laki kebanyakan, kecuali Idan tentunya. Entah mengapa, bagiku Idan berbeda. Aku bisa menjadi apapun yang aku inginkan jika bersamanya. Bicara tentang Idan, aku sedang mencarinya saat ini. Oh, ayolah Dan... tunjukan dirimu, aku membutuhkanmu saat ini, untuk berkeluh kesah tentang perasaan yang tak dapat lagi kupendam sendiri. Aku tersiksa karenanya, menyukai diam-diam itu sama sekali tak menyenangkan!!!. Mungkin awalnya aku menikmati perasaan itu, memperhatikannya diam-diam saat pelajaran di kelas, atau tersenyum karena tiba-tiba dia balik menatapku yang sedang asik menatapnya. Yahhhh, mungkin dia sadar sedang dipandangi. Tapi hal itu berlangsung hanya sesaat, keasikan yang kupahami semula tak berlangsung lama. Aku merasa bodoh melakukan ini, menyukai diam-diam adalah tindakan paling bodoh yang pernah kulakukan dalam hidupku dan aku mulai lelah dengan semuanya. Maka dari itu, aku membutuhkan Idan saat ini, karena hanya dia yang kupercaya sebagai tempat berbagi perasaan rumit yang baru aku rasakan. Kutelusuri seluruh perpustakan dimana ia biasanya berada. Tapi tak juga ku temui dirinya. Sejak bel istirahat berbunyi beberapa menit yang lalu dia sudah menghilang entah kemana. Ku cari Idan ke tempat lain, bagaimana pun aku harus mengatakannya pada Idan. Setidaknya untuk meringankan apa yang kurasakan.
BUGH!
"Auwwww...." Ringisku ketika menabrak seseorang saat keluar dari perpustakaan.
"Sorry, sorry La. Lo gak apa-apa?"
Aku melirik orang yang baru sajaBmenubrukku, dan leganya ternyata itu Idan. Aku langsung menarik tangannya untuk ikut bersamaku.

***

"Jadi lo bener-bener suka samad ia?" Tanya Idan memastikan. Aku mengangguk perlahan.
Aku masih menunduk. Sementara Idan mungkin sedang memperhatikanku dalam diamnya.
"Hah~ gue udah duga bakalan jadi seperti ini."
Aku semakin memperdalam tatapanku, mendekap lutut dalam pelukanku erat, dan menenggelamkan wajahku diantaranya. Lagi-lagi hening, hanya terdengar semilir yang perlahan menerpa kami. Dan suara dedaunan pohon yang sedang kami teduhi di samping gedung utama sekolah tempat kami kini berada. Sekali lagi aku mendengar Idan menarik nafas panjangnya.
"Lantas sekarang lo mau gimana?"
Tanya Ildan lagi. Aku tetap diam tak menjawab pertanyaan Idan, sebab aku sendiri tak tau jawabannya. Namun kemudian terlintas dibenakku.
"Setidaknya gue ingin dia tau perasaan gue." Gumamku pelan, tapi aku yakin Idan masih dapat mendengarnya.

***

Esok harinya, saat aku tiba di kelas. Semua teman-teman sekelasku sontak menatapku dengan pandangan aneh ketika aku datang. Aku memastikan tubuhku dan meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah denganku. Lantas mengapa mereka menatapku seperti itu? Tak lama seseorang datang menghampiriku.
"La!!!" Sapa Luna membuatku terperanjat. Aku menatap Luna sinis.
"Biasa aja kali Lun nyapanya..." Protesku kesal.
Luna tak memperdulikan aksi protesku dan malah sibuk memintaku untuk duduk di kursi sebelahnya.
"Apaan sih..." Keluhku risih dengan tingkah Luna yang menarik-narik tanganku agar lekas duduk.
Aku pun duduk seperti permintaannya. Luna mendekatkan jarak duduknya denganku, dan membisikan pertanyaan yang sudah sangat mengganggu pikirannya tampaknya.
"Lo suka sama Ziyan?" Tanya Luna berbisik.
Sontak aku langsung mendorong Luna menjauh,dan memandangnya heran.
"Idan yang bilang sama lo?!?" Emosiku mulai naik.
Kini giliran Luna yang balik mandangku heran, ia lalu menggeleng pelan.
"Bukan... orangnya sendiri kok yang bilang ke anak-anak."
Aku terngaga mendengar pernyataan Luna barusan. Bagaimana mungkin Ziyan yang mengatakannya sendiri pada anak-anak sekelas?!? Dan bagaimana dia bisa tau?!? Belum selesai aku berkecamuk dengan perasaanku. Orang yang sedang aku dan Luna bicarakan datang menghampiri kami.
"Hei... Gue mau ngomong sama loe bentar." Ujarnya menatapku.
Aku beralih memandang Luna, dan dia hanyamengangkat bahu menanggapi tatapanku. Mataku kembali terarah pada Ziyan, laki-laki yang diam-diam kusukai itu. Masih diselimuti ragu dan kebingungan yang melanda, aku mengangguk dan mengikuti langkahnya meninggalkan kelas kami. Dapat ku pastikan seluruh mata di kelas memperhatikan kepergian kami dari kelas, dan aku amat tak menyukai hal ini. Sudah kubilang sebelumnya bukan?!? Aku tak suka jadi pusat perhatian. Kami tiba di halaman belakang sekolah, ia menghentikan langkahnya dan menatapku.
"Lo suka sama gue?" Tanyanya to the point.
Aku diam.
"Siapa yang bilang sama lo?" Tanyaku akhirnya setelah mampu bicara.
"Gak penting siapa yang ngasih tau gue, gue cuma pengen loe jawab.. lo beneran suka sama gue?" Tanya Ziyan lagi.
Ya Tuhan... aku sama sekali tidak suka suasana seperti ini. Bisakah aku pergi tanpa menjawab pertanyaannya?!?
"La!!!" Panggilnya meminta jawaban. Aku masih diam. Ini pertama kalinya aku dan Ziyan bicara sepanjang ini. Tapi mengapa kita tak bisa membicarakan hal lain selain menyangkut perasaan?
"Ya, gue emang suka sama lo." Ucapku akhirnya tak dapat mengelak.
                Ziyan sempat terdiam sesaat, lalu kembali angkat bicara.
"Terus loe mau jadi pacar gue?"
Aku mengernyit.
"Maksud lo?" Tanyaku balik.
"Ya wajar kan kalo sama-sama suka terus pacaran?" Jelas Ziyan tanpa basa-basi.
Perasaan apa ini? Apa memang yang kuinginkanseperti ini? Aku memang menyukainya, ingin iajuga tau perasaanku, dan tentu saja ingin memiliki sebagaimana layaknya orang jatuh cinta. Tapi mengapa begini? Rasanya ada yang salah dengan perasaanku! Dan saat ini hanya Idan yang pasti dapat mengerti perasaanku. Aku ingin Idan sekarang.
"Maaf Ziyan, mungkin gue emang suka sama lo, tapi gue gak bisa!!!" Tuturku langsung meninggalkannya.
         Aku berlari kembali ke kelas. Mataku sibuk mencari seseorang yang saat ini sangat ingin kutemui. Namun ia tak juga muncul dijarak pandangku. Aku berlari mengitari perpustakaan, ke taman samping sekolah tempat aku dan dia sering menghabiskan waktu membaca buku bersama. Tapi tak juga kutemui Idan, entah mengapa rasanya air mata mulai menggenang di pelupuk mataku, dan rasanya aku benar-benar ingin menangis.
“La, lo kenapa?” Tanya Luna saat aku kemali ke kelas dan duduk di kursiku. Aku sempat melihat Ziyan yang memandangku aneh, namun tak kuperdulikan pandangan itu.
“Idan gak masuk ya Lun?” Tanyaku lirih.
“Loh? Emang lo gak tau? Wildan kan udah pamitan kemarin. Mulai hari ini dia bukan siswa sekolah ini lagi.
       Hatiku seperti dihujam beribu jarum. Perasaan sakit ini lebih menyakitkan dibanding saat aku menyimpan perasaan sukaku pada Ziyan.
“Pin..dah?”
                Luna mengangguk, lalu menghela nafas.
“Udah gue duga ada yang aneh.” Luna lalu bangkit dan merogoh tasnya mengambil sesuatu, kemudian kembali duduk di sampingku.
“Pas dia pamitan kemarin, dia ngomong di depan anak-anak tanpa ada lo. Dan dia nitipin ini ke gue.” Ucap Luna menyerahkan secarik surat padaku.
                Aku mengambilnya ragu, ku buka surat itu dan membawanya.

Dear Lala…
Loe pasti kaget pas baca surat dari gue… atau engga ya?!? Hehe.. Gue minta maaf karena gak bisa pamitan langsung sama loe, gue takut nanti loe nangis lagi. Atau sekarang malah loe lagi nagis baca surat dari gue? Jangan nangis dong La… ya? Ya?
Seperti sebelum-sebelumnya, gue memang gak pernah bertahan lama tinggal disuatu tempat. Karena kerjaan bokap gue yang memang nuntut kita sekeluarga harus pindah ke sana-sini. Dan ini harus terjadi lagi sekarang…padahal hati gue udah tertambat di kota ini. Tapi ya mau gimana lagi? Gue gak bisa gak ikut keluarga gue La…
Sebenernya banyak yang mau gue omongin sama loe, tapi karena takut loe capek bacanya gue cerita sedikit aja deh.
Ziyan tau dari gue La, gue bilang sama dia kalau loe suka sama dia, dan kayaknya dia juga suka sama loe. Loe bilang kan ke gue… “Seenggaknya gue pengen dia tau perasaan gue.”Nah sekarang dia udah tau, tinggal bagaimana kalian menjalaninya.Gue bahagia kalau loe bahagia. Sebab buat gue loe berharga, karena gue sayang sama loe, bahkan lebih dariyang loe tau. Meski mungkin selamanya kita cuma bisa jadi temen seperti yang loe inginkan.Tapi buat gue gak apa-apa, asal loe masih butuhin gue walau hanya sebagai temen. Dan… gue harap loe ngerti kenapa gue gak bisa bilang sama loe semuanya secara langsung. Makasih untuk semuanya La,terutama kehadiran loe di hidup gue…

From: Idan
PS: Awalnya gue gak terlalu suka dengan panggilan lo buat gue, tapi sekarang gue akan kangen panggilan itu :)

             Air mataku jatuh tak tertahan. Kupeluk surat dari Idan erat-erat. Sakit sekali rasanya… Mengapa bisa sesakit ini?!? Bukan Ziyan yang aku mau, tapi lo Idan… Tapi lo!!!.
           Dan setelah sadar pada perasaan ini, ternyata kesukaanku pada Ziyan hanya rasa antusiasme saja, dan bukan rasa “suka” seperti yang aku deskripsikan selama ini. Yang aku inginkan, yang ku ingin terus bersamaku, yang membuatku nyaman, yang membuatku suka, dan membuatku jatuh cinta ternyata Idan. Karena terlalu ingin dia bersamaku aku jadi takut mengakui perasaanku, takut ia pergi dariku, meski pada akhirnya dia tetap pergi… bahkan tanpa tau perasaanku. Ini bukan hanya kisah cinta diam-diamku pada Ziyan yang ternyata salah, atau juga bukan hanya kisah cinta diam-diam Idan padaku yang baru ia katakan disaat ia sudah pergi. Tapi ini kisah cinta diam-diamku pada Idan yang baru ku sadari setelah kepergiannya. Dan rasanya, air mata saja tak cukup menggambarkan betapa sakitnya hatiku saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar