Sabtu, 21 Desember 2013

Cinta Itu Restu Tuhan: Kembali ke Masa Lalu

Gambar Disini

Sudah sepuluh tahun sejak kepergiannya, namun benakku tak pernah dapat beranjak dari masa itu. Masa-masa ketika aku masih bersamanya, waktu disaat aku belum menyadari perasaanku, dan ketika akhirnya ia pergi dengan ungkapan perasaannya yang akhirnya selalu membawaku kembali ke masa lalu. Seandainya aku menyadarinya lebih cepat, seandainya ia mengatakan padaku secara langsung, apa kau akan tetap pergi Dan? Membawa serta perasaanku padamu. Sayangnya kau tak pernah tahu, pergi begitu saja tanpa tahu perasaanku.

Sore itu aku menyeruput kopi di sebuah cafe tak jauh dari kantorku sambil menunggu hujan reda. Tempat ini sudah berubah, telah banyak berubah dibanding ketika aku dan Idan pertama kali datang ke tempat ini. Saat ini dekorasinya jauh lebih baik dan elegan, menaikan kelasnya dari cafe murahan menjadi cafe kelas atas. Meski begitu, bagiku tempat ini tetap sama, tempat yang selalu menyertai bayangan Idan bersamaku. Di setiap sudut cafe ini ada bayangan Idan sepuluh tahun lalu, saat kami masih berusia 17 tahun, saat aku dan Idan masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seketika masa-masa itu hadir di benakku, mengabaikan leptopku yang masih menyala dengan serangkaian tugas kerjaku di layarnya. Idan ada di depan mataku, ia duduk disertai senyum lembutnya seperti biasa, dengan segelas cappucino panas di tangannya.

Senyum di wajah Idan menghilang, berkali-kali ia melirik jam yang melingkar di tanganya sambil sibuk menatap ke luar jendela cafe itu. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang, menyimpan kesal karena seseorang yang ditunggunya tak lekas datang.

***

Aku berlari menerobos hujan, menggunakan jaket yang hanya menutupi kepalaku. Tak perduli rintikan hujan itu membuat seragam sekolahku basah perlahan. Yang kutahu hanyalah aku harus segera sampai, Idan pasti sudah terlalu lama menunggu dan aku tak ingin melihat marahnya. Kalian tahu? Orang pendiam jika marah itu lebih menakutkan dibanding orang pemarah sekalipun.

Dengan nafas terengah aku masuk ke cafe tempat kami berjanji. Cafe yang tak sengaja kami temukan ketika hujan seperti hari ini. Meski jujur ini cafe terburuk yang pernah aku lihat, tapi kalian tak akan percaya jika makanan dan minuman di sini tak kalah seperti makanan yang ada di hotel berbintang. Itu mengapa, meski tempatnya buruk seperti kapal pecah yang tak kumengerti dekorasinya akan ke arah mana, aku dan Idan tetap datang ke tempat ini karena makanannya yang enak juga harganya yang sesuai kantong kami sebagai siswa sekolah. Bahkan setelah hampir tiga bulan kami tahu cafe ini, cafe ini sudah seperti tempat favorit kami setiap kali kami pergi. Ah, sudah dulu cerita tentang cafe-nya, Idan sudah menungguku dengan tatapan sinisnya.

Aku menghampiri Idan dan duduk di hadapannya, dengan sebuah meja yang menjaraki kami. Kali ini tatapannya tak terarah lagi padaku, dan itu bahkan lebih gawat dibanding ia menatapku dengan tatapan sinisnya.

"Maaf... kau tahu kan pak Irfan tak akan melepaskanku sampai ia puas dengan ceramahnya, dan kau juga tahu bahwa ceramah pak Irfan itu selalu lebih lama dibanding acara infotaiment atau berita di televisi. Oleh karena itu aku...."

Idan tetap diam, dia sama sekali tak merespon kata-kataku.

"Tapi aku sudah berusaha datang, kau tak lihat aku kehujanan agar bisa sampai di sini. Bajuku sampai basah seperti ini, lihat!" Aku berusaha menjelaskan sambil membela diri, menunjukan seragamku yang basah terkena hujan. Tentu saja karena aku telat bukan murni kesalahanku, tapi karena pak Irfan yang mengomeliku terlalu lama.

Aku cemberut karena Idan masih mendiamiku. Aku paling tidak suka jika sudah begini, marahnya Idan adalah diam, dan diamnya Idan adalah kesialanku. Seperti kejadian beberapa bulan lalu, saat aku mencoba menyomblanginya dengan seorang temanku di sekolah. Saat itu Idan marah besar, dan mendiamiku selama sebulan. Aku tak tahu mengapa ia segitu marahnya padaku, sampai kami berbaikan pun Idan tak pernah menjelaskan kenapa, padahal aku merasa tak ada yang salah dengan sikapku itu. Tapi saat ini memang aku yang salah, aku pasrah tertunduk lesu.

Tiba-tiba sesuatu menutupi wajahku, kuraih dan kulihat Idan yang kini sedang menatapku.

"Ganti pakaianmu dengan itu, kalau kau tak ingin masuk angin." Jelasnya.

Aku berusaha menahan senyum, kutatapi sweeter Idan yang kini di tanganku. Jika sudah begini, itu berarti Idan memaafkanku. Aku berdiri, dan berjalan menuju toilet sebelum Idan kembali memerintahku. Tak lama aku kembali sudah memakai sweater-nya. Aroma tubuh Idan merasuk hingga ke paru-paruku. Aroma yang sangat aku sukai, lembut dan hangat.

"Apa tidak sebaiknya kita pergi sekarang? Kurasa filmnya sebentar lagi mulai." Kataku setelah kembali duduk menghadapnya.

Idan kembali menatapku sinis, aku menelan ludah. Urung melanjutkan kalimatku.

"Filmnya sudah selesai sejak tadi." Ujarnya ketus.

"Tapi kan kita bisa memesan tiket untuk jam selanjutnya." Gumamku tak berani mengatakan terang-terangan. Idan hanya menatapku ketika aku mengatakannya, tanpa menanggapi apa-apa, itu berarti ia tak mendengar gumamanku.

"Sudahlah, sebaiknya kau pulang. Rokmu juga basah bukan? Kita tak akan kemana-mana dengan keadaanmu yang seperti itu." Lanjut Idan meraih tasnya seraya bangkit.

Aku cemberut memandanginya. Untuk apa aku jauh-jauh ke tempat ini jika hanya untuk pulang?! Bahkan jarak sekolah ke rumah lebih dekat dari cafe ini ke rumahku.

"Ayo cepat! Tunggu apa lagi?!"

Aku masih diam tertunduk. Niatku kan ingin menonton film fantasi itu, bahkan Idan sudah bersedia akan mentraktirku. Tapi kalau hanya untuk pulang...

"La!!!"

***

"Nona?"

Lamunanku buyar, aku menoleh pada seseorang yang menegurku.

"Ya Mas?"

"Mau tambah coffie-nya?" Tanya pelayan yang menghampiriku itu.

Sepertinya aku sudah cukup lama di cafe ini, sampai tak sadar gelas kopiku sudah kosong sejak tadi. Aku beralih memandang keluar jendela sebelum menjawab pertayaan pelayan itu, hujan sudah reda.

"Tidak terimakasih." Ujarku menyelipkan sebuah senyum.

Pelayan itu mengangguk mengerti membalas senyumku. Ia pun berlalu dan menghilang dari pandangnku. Kubereskan dokumen-dokumen kantorku, mematikan leptop dan memasukannya dalam tas. Kuputuskan untuk pergi, lagi pula hujan sudah berhenti, menyisakan udara lembab dan basah sejauh mata memandang. Seperti kepergian Idan yang menyisakan semua kenangan tentangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar